Dalam
kehidupan sehari-hari kita sering berinteraksi dengan masyarakat sekitar kita (zoon politicon), namun sadar atau tidak
bahwa dalam proses interaksi yang
demikian akan melahirkan suatu aturan hukum sesuai dengan asas hukum “Ubi
Societas Ubi Ius” yakni di mana ada masyarakat di situ
ada hukum untuk kesejahteraan masyarakat. Namun dalam kenyataanya hukum
belum mampu untuk mencapai cita-cita mulia tersebut. Hal ini dapat kita
buktikan dengan maraknya kasus korupsi di berbagai daerah dan bahwa seluruh
kalangan aparatur penyelenggara negara telah terinfeksi kasus korupsi.
Korupsi itu berasal dari istilah
Latin, corruptio
yang artinya merusak. Korupsi itu merupakan tindakan manusia yang menimbulkan
akibat kerugian bagi kehidupan manusia. Sedangkan dalam Undang-Undang No. 31
Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana
Pemberantasan Korupsi secara singkat mendeskripsikan tindakan merusak tersebut
yaitu sebagai beriku:
·
Kerugian Keuangan Negara
·
Suap-menyuap
·
Penggelapan dalam jabatan
·
Pemerasan
·
Perbuatan Curan
·
Benturan kepentingan dalam
pengadaan
·
Gratifikasi (Pemberian
hadiah)
Selain
yang telah tersebut diatas pengertian korupsi juga dapat kita tinjau
berdasarkan Transperancy Internasional
yaitu merupakan perilaku pejabat publik, maupun politikus dan pegawai negeri
yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri sendiri, dan atau
memperkaya mereka yang dekat dengan dirinya, dengan cara menyalahgunakan
kekuasaan publik yang dipercayakan kepadanya.
Dari berbagai macam defenisi diatas dapat kita
simpulkan bahwa perilaku korupsi itu pada prinsipnya bisa dilakukan oleh
siapapun yang memiliki otoritas penuh karena berkaitan dengan penyalahgunaan
wewenang (abuse of power) dan ataupun oleh oknum penyelenggara negara yang
memiliki kekuasaan. Berdasarkan hasil analisis yang telah saya lakukan di
Polresta dan SAMSAT Daerah Istimewa Yogyakarta masih banyak kejanggalan yang
dilakukan oleh aparat Kepolisian dalam memberikan pelayanan publik kepada
masyarakat. Contohnya dalam hal pembuatan SIM
(Surat Izin Mengemudi) kendaraan bermotor masih banyak oknum-oknum Polisi
yang bermain dibelakang layar dengan bantuan para Calo dan bahkan tukang parkir
juga turutn serta membantu, preman yang berkeliaran disekitar kantor Polresta
dan SAMSAT DIY sertan penjaga fotokopi dan penjual kathering juga ikut
berpartisipasi dalam mensukseskan proses pembuatan SIM ilegal yang seolah-oleh
memiliki legal standing tersebut. Para oknum tersebut memiliki cara-cara yang
strategis untuk menarik perhatian masyarakat yang mengurus SIM dengan cara
seolah-olah menjemput bola yakni menawarkan jasa dan mengiming-iming bahwa
proses pembuatannya akan lebih cepat daripada melalui jalur yang biasa karena
mereka mempunyai orang dalam dan nantinya tinggal foto tanpa melalui testing.
Hal ini sangat bertentangan dengan Prosedur Penerbitan Surat Izin Mengemudi
sebagaimana diatur di dalam Pasal 81 Undang-Undang No.22 Tahun 2009 bahwa para pemohon SIM wajib menempuh
prosedur dan melengkapi persyaratan yang telah ditetapkan yaitu sebagai
berikut:
Ø Mengajukan
Permohonan Tertulis
Ø Bisa
baca tulis
Ø Memiliki
Pengetahuan peraturan lalu lintas jalan dan taktik dasar kendaraan bermotor.
Ø Batas
usia -
17 Tahun untuk SIM Gol A, C, D
- 20
Tahun untuk SIM Gol.B I
- 21
Thaun untuk SIM Gol. B II
Ø Syarat
administratif (fotokopi KTP, Surat Keterangan Sehat Jasmani dan Rohani dari
Dokter)
Ø Lulus
uji teori dan praktek
Ø SIM
dilengkapi dengan hasil uji simulator.
Sementara
apabila kita kaji lebih dalam proses pembuatan SIM tersebut sangat
berbelit-belit dan tidak mencerminkan asas-asas umum pemerintahan yang
baik (welfarstate) yakni asas cepat, terbuka, profesional, akuntabilitas
dan proporsional. Hal ini dibuktikan ketika para pemohon mengajukan permohonan
pembuatan SIM baru dengan membayar sejumlah uang di Bank terdekat dan melakukan
sidik jari, foto permohonan SIM. Setelah itu, mengikuti Ujian Teori Avis dan
Ujian Keterampilan Pengemudi serta Ujian Praktek dan barulah terbit/cetak SIM.
Dari serangkaian proses tersebut diatas janganlah dianggap bahwa sangat mudah
dan tidak membutuhkan waktu lama. Biasanya para oknum Kepolisian menggunakan
kesempatan Ujian teori Avis dengan memberikan soal-soal yang sulit dikerjakan
oleh masyarakat umum dan juga di ujian praktek mempersulit prosedurnya,
sehingga tidak jarang masyarakat yang mengurus SIM tidak lolos seleksi dan
harus mengulang lagi dengan tenggang waktu 7-14 hari dan bahkan sampai 30 hari
berikutnya. Dan inilah proses seleksi yang menurut saya sangat berbelit-belit yang
tidak mencerminkan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Lebih dari itu, para
oknum Kepolisian sering melakukan kecurangan dengan mendiskriminasikan para
kaum-kaum pro bono yang tidak mampu untuk membayar sejumlah uang kepada para
Calo serta lebih transparan lagi ketika ada keluarga dari salah seorang anggota
Kepolisian yang hendak mengurus SIM,
justru itu yang lebih didahulukan tanpa mengikuti ujian tertulis dan ujian
praktek. Hal inilah yang menurut saya ketidakadilan dan diskriminatif di
Institusi Kepolisian
No comments:
Post a Comment